Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    biru untuk langit , hitam untuk malam

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    biru untuk langit , hitam untuk malam Empty biru untuk langit , hitam untuk malam

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:26 am

    Biru
    Untuk Langit,
    Hitam
    Untuk Malam




    Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke
    ruang belajar Seno, kakaknya Vivi.
    "Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung
    nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi
    ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah
    dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan
    manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang
    mirip perut Robocop diutak-atik.




    "Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal
    penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja
    saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang,
    ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan
    program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy"
    tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.




    "Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup.
    "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil
    cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu
    juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam
    aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi
    iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno
    sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun.

    "Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa
    sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja
    pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman
    betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik.
    Sukses gue bikin jealous tuh anak!




    "Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih
    penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti
    ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.




    "Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno
    nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy,
    bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang.
    Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren
    nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar,
    perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram. Baru saja dia masuk ke kamar,
    suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar.
    Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya
    menghadang di depan pintu kamar.




    "Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong
    nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil
    kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya
    tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik,
    tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy,
    Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi
    sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran
    Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka
    Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan
    saling baku hantam.




    "Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di
    belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit,
    pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara
    mata Boy lebam.




    "Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan
    suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan
    semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi
    menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi
    baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk,
    mama kaget dan menjerit "Boy!!"






    Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy
    membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena
    gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.




    Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya
    yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh
    perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan
    telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi
    menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk
    persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu
    sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.




    Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi,
    Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa
    dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini
    componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal
    Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment
    here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya.




    Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya.
    Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci
    dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri,
    kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak
    Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya
    bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai
    seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa
    tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu
    juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.




    Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu
    jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang
    diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai
    pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang.
    "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya
    Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam.
    "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke
    rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak
    apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana
    kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak
    ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan
    bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga.




    "eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik
    kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh,
    kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.




    "Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga.
    "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi.
    "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi.
    "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati.
    Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu
    disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik




    Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu
    dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima
    menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati.
    Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi
    mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.




    "Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang
    ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi
    krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan
    makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.




    "Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga,
    jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres
    makan" jawab Erik bak gentlemen.




    "Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak
    pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta
    jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi
    jadi pacar Erik?" sambungnya.




    Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban
    Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi
    akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu
    untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas.




    "Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan
    Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini
    ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan
    dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung
    perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya
    polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang
    menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik
    terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis
    dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg
    dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan
    tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.




    "Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi"
    akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya
    yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar
    ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih
    terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa
    pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut
    kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare
    enough to fall so deep in love. Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam
    kesedihannya.




    Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat
    pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk
    jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan
    dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di
    rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku
    agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi
    ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik
    diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum
    pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan
    menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu
    tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik,
    ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik
    bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air
    mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka
    bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan
    dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal.




    Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat
    nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu.
    "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan
    cepet nutup pintu takut ketahuan nangis.




    Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang
    pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan,
    Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.




    Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan
    pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti
    dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi
    dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih
    dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan
    Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak
    ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.




    Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru
    dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin
    dibukakan oleh Allah. (Iwan)




    Disarikan dari Permata 24/V Desember 1997

      Waktu sekarang Sun Apr 28, 2024 11:04 am