Kontroversi Inul:
Etika dan Estetika
Oleh: Petrus PB
Krisna
AWAL tahun 2003 ini ada dua nama
baru yang tiba-tiba melejit yaitu Sumanto dan Inul. Keduanya sama dari
masyarakat kelas bawah, dari kota kecil (Pasuruan dan Purbalingga) dan mewakili
cara-cara masyarakat kecil yang ingin mencapai impiannya secara instan.
Namun, yang
spektakuler dan menimbulkan kontroversi adalah Inul, yang kemudian mencuat
gara-gara goyang ngebornya. Pada minggu-minggu ini hampir semua televisi swasta
dan media cetak menyajikan berita tentang reaksi MUI dan masyarakat
antipornografi dan pornoaksi terhadap goyang Inul, yang dinilai akan merusak
mental generasi muda dan generasi tua di Indonesia.
Namun di sisi lain,
sebagian masyarakat kita, justru mendukung Inul dengan membeli VCD gelap yang
dipasarkan di pedagang-pedagang kaki lima.
Etika-Estetika
Di masyarakat kita,
masalah etika dan estetika yang terkait dengan cara memandang sebuah objek
tentang wanita selalu memunculkan kontroversi. Salah satu kasus yang dulu
pernah menghebohkan adalah penampilan penyanyi Sophia Latjuba yang dianggap
sangat vulgar di salah satu majalah. Sang artis menganggap, tampilannya bukan
termasuk kategori pornografi, melainkan merupakan karya seni fotografi.
Artis lain yang
dulu terkena kritikan adalah Nafa Urbach. Penampilannya yang sangat sensual di
salah satu VCD-nya dianggap terlalu mengundang gejolak birahi bagi yang
melihatnya. Penyanyi asal Magelang ini pun memberikan alasan yang sama, bahwa
yang ditampilkan adalah karya seni. Kini, Inul pun mempunyai argumen yang sama.
Baginya, goyangnya adalah karya seni yang memang sudah menjadi ciri khas musik
dangdut. Ini juga diakui oleh diva dangdut, Kristina, yang mengatakan bahwa
dangdut memang sudah identik dengan goyang.
Masyarakat
antipornografi mengomentari bahwa goyang Inul akan merusak generasi muda dan
generasi tua, karena pakaian yang dikenakan terlalu ketat, goyangnya terlalu
heboh.
Lalu kenapa goyang
sinetron-sinetron India tidak mendapatkan protes keras? Dua argumen yang
sebenarnya sama-sama tidak jelas inilah yang selalu memunculkan kontroversi.
Alasan seni yang tidak disertai dengan penjelasan konsep seni dalam produksi
dan pemilihan medianya, dan di sisi lain, para pengkritik juga hanya menekan
masalah kata "terlalu" - baik yang menyangkut kevulgaran, sensualitas
(ngebor), cara berpakaian (ketat) - yang tidak jelas batasan-batasannya.
Masalah etika
memang selalu mengundang kontroversi, karena hanya merupakan rambu-rambu yang
bersifat persepsional. Namun sebenarnya ada beberapa alat yang bisa membantu
untuk mengategorikan apakah suatu objek termasuk etis atau tidak etis.
Pertama adalah
tujuan awal sebuah produk/aktivitas dikerjakan. Ini menjadi bagian terpenting
karena akan menentukan cara-cara yang akan digunakan dalam mencapai tujuan.
Kedua adalah legalitas, apakah objek tersebut benar-benar sah menurut
undang-undang atau hukum yang berlaku. Ini semua akan menyangkut pada masalah
keamanan dan kenyamanan dalam mengonsumsi objek (produk atau jasa). Ketiga
adalah kejujuran (honesty), apakah yang dijanjikan sesuai dengan yang
diberikan sehingga ada jaminan bagi konsumen yang memang memilih objek
tersebut.
Keempat adalah
nilai-nilai, yang kesemuanya akan menyangkut masalah standarisasi pada
penilaian baik dan buruk atau salah dan benar yang dianut oleh masyarakat.
Untuk standarisasinya bisa menggunakan agama, budaya,dan kebiasaan/tradisi.
Untuk kasus ini,
dari sisi tujuan, Inul mulai terobsesi menjadi penyanyi dangdut karena ingin
tampil seperti penyanyi di kampungnya yang sering tampil di pesta dengan pakaian
ketat dan belahan tinggi serta goyangan yang menghebohkan. Jelas sekali bahwa
tujuan awal dari Inul adalah menjadi penyanyi dangdut yang ''menyihir''
penonton dengan pakaian ketat dan goyangannya.
Di sisi legalitas,
VCD Inul ini merupakan produk-produk ilegal, yang pengambilan gambarnya
dilakukan waktu Inul tampil di acara-acara pesta/kondangan. Semua gambar
yang ditampilkan terlepas dari gunting sensor dari pihak-pihak yang berwenang.
Akibatnya proses pemasaran dan pendistribusiannya juga tanpa labeling
yang jelas, terutama menyangkut area pemasarannya dan target konsumennya.
Hal inilah yang
menjadikan masyarakat antipornografi dan MUI menjadi sangat gusar. Untuk
masalah kejujuran, karena VCD yang beredar ilegal maka kriteria ini jelas tidak
terpenuhi.
Yang terakhir
adalah nilai-nilai, yang dilihat dari sisi agama,budaya dan adat-istiadat.
Seperti dikemukakan oleh masyarakat antipornografi, yang pertama harus dilihat
dari sisi artinya terlebih dulu. Apakah goyang dan cara berpakaian Inul saat
tampil di panggung dibenarkan oleh agamanya, budayanya atau norma-norma yang
berlaku di masyarakatnya atau tidak? Jika Inul tidak bisa memenuhi kriteria
itu, tentu saja penyanyi Pasuruan ini harus mau menerima imbauan dari MUI atau
masyarakat antipornografi, suka atau tidak suka.
Tapi ada baiknya
kita mau melihat dengan berbagai perspektif yang lebih luas, sehingga tidak
hanya mengekspose kesalahan objek, tetapi juga pelaku-pelaku di balik objek.
Landasan Etika
Profesi
Untuk melihat
landasan etika profesi, kita bisa menggunakan dua pendekatan. Pertama,
pendekatan rumusan tentang profesional dan kedua kepentingan profesional dan
kepentingan publik.
Seperti dijelaskan
oleh Daryl Koehm, rumusan tentang profesional lebih bersifat dialektis, artinya
secara intrinsik bersifat normatif, sehingga siapa yang memenuhi syarat sebagai
profesional berbeda-beda menurut norma-norma yang harus ditaati. Namun demikian
ia memberikan batasan yang jelas, yaitu kaum profesional adalah mereka yang
dianggap menjadi agen yang dapat dipercaya bagi klien/pasarnya karena (1)
mereka memang ahli, (2) mereka pemberi pelayanan -yang demi uang- akan menaati
keinginan klienya/pasarnya, (3) mereka memiliki pengetahuan, kecakapan, dan
pengalaman yang memungkinkan mereka untuk bertindak secara moral dengan benar.
Pada kasus Inul,
rumusan pertama dan kedua nampaknya sudah terpenuhi. Ia memiliki keahlian dan
memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan pasar. Namun untuk landasan yang
ketiga nampaknya belum terpenuhi. Beberapa indikasi yang menunjukkan tidak
terpenuhinya landasan ketiga ini adalah ketidaktahuan Inul tentang peredaran
VCD gelap, yang sebenarnya merupakan kegiatan ilegal. Dengan melihat kondisi
ini, nyata sekali bahwa meskipun telah memiliki keahlian dan kemampuan melayani
keinginan pasar, tetapi Inul belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
cukup yang terkait dengan profesi yang dijalaninya.
Dalam kaitannya
antara kepentingan profesional dan kepentingan publik terdapat dua model
hubungan, yaitu kepentingan umum yang dikembangkan melalui pengabdian
profesional yang khusus kepada klien secara perseorangan, dan moralitas
profesional sama dengan moralitas publik. Pertama, profesional harus memahami
bahwa kesetiaan mereka untuk melayani kemauan pasar dibatasi oleh keinginan
anggota masyarakat yang lain, yang juga merupakan bagian dari kebaikan yang
dikembangkan oleh profesional.
Pemahaman ini pada
akhirnya akan mampu menjadi daya dorong bagi profesional untuk meningkatkan imagenya
di masyarakat umum, yang bisa menjadi pasar potensial mereka di masa yang akan
datang.
Seorang artis tidak
bisa hanya menuruti kemauan penontonnya -yang dalam kadar emosional tertentu-
kadang melewati norma-norma yang secara umum berlaku di masyarakat.
Yang kedua, seperti
yang dijelaskan oleh Alan Goldman bahwa moralitas profesional - seperti
moralitas biasa - harus terdiri dari penghormatan pada hak-hak kepada semua
manusia otonom dan rasional.
Seorang profesional
harus peka terhadap kebaikan/kepentingan pihak-pihak yang ada di sekitarnya.
Dengan perimbangan
hubungan ini, justru akan menyeimbangkan antara kepentingan masyarakat secara
umum dengan kepentingan profesional.
Impian
Inul dan Sumanto
bisa jadi merupakan cermin impian kelompok marginal di tengah-tengah
ketidakpastian sosial ekonomi sekarang ini. Mereka ingin sama seperti sebagian
masyarakat lain, yang dengan mudah - dengan waktu relatif singkat mampu
mengangkat status sosial ekonominya pada posisi yang menggiurkan.
Ketidakpahaman
tentang jalur-jalur yang harus ditempuh, serta minimnya tingkat pendidikan telah
membuat mereka melakukan jalan pintas, yang ternyata dianggap tidak normal oleh
sebagian masyarakat lain.
Dengan keterbatasan
wacana yang dimiliki, ia melihat ketatnya persaingan di bisnis hiburan.
Satu-satunya cara untuk mengambil peluang adalah melakukan diferensiasi produk,
yaitu goyang dengan putaran yang heboh, yang disebut oleh orang lain sebagai
''goyang ngebor''.
Strategi yang
dimainkan Inul ternyata berhasil, karena pasar dangdut yang sebagaian adalah
masyarakat menengah ke bawah benar-benar menerimanya.
Inul belum menjadi
artis yang paham tentang hak-hak pribadinya yang tidak boleh diintervensi atau
diinjak oleh orang lain.Impiannya sederhana: tanggapannya makin laris, bisa
terkenal, dan bisa tampil di layar televisi. Ia tidak menuntut ke produser
amatiran yang merekam aksi panggungnya dan kemudian menjualnya ke pasaran.
Ini sangat berbeda
dari artis-artis papan atas yang telah paham tentang hak-haknya. Kita bisa
melihat bagaimana artis Bella Saphira menuntut perusahaan sabun mandi yang pernah
mengontaknya gara-gara masih memasang gambarnya, di saat masa kontraknya habis.
Bisa jadi Inul malah senang, ketika VCDnya dimiliki banyak orang, ditonton
banyak orang, dibicarakan banyak orang, meski ia tidak menerima royalty
sama sekali.(18)
Etika dan Estetika
Oleh: Petrus PB
Krisna
AWAL tahun 2003 ini ada dua nama
baru yang tiba-tiba melejit yaitu Sumanto dan Inul. Keduanya sama dari
masyarakat kelas bawah, dari kota kecil (Pasuruan dan Purbalingga) dan mewakili
cara-cara masyarakat kecil yang ingin mencapai impiannya secara instan.
Namun, yang
spektakuler dan menimbulkan kontroversi adalah Inul, yang kemudian mencuat
gara-gara goyang ngebornya. Pada minggu-minggu ini hampir semua televisi swasta
dan media cetak menyajikan berita tentang reaksi MUI dan masyarakat
antipornografi dan pornoaksi terhadap goyang Inul, yang dinilai akan merusak
mental generasi muda dan generasi tua di Indonesia.
Namun di sisi lain,
sebagian masyarakat kita, justru mendukung Inul dengan membeli VCD gelap yang
dipasarkan di pedagang-pedagang kaki lima.
Etika-Estetika
Di masyarakat kita,
masalah etika dan estetika yang terkait dengan cara memandang sebuah objek
tentang wanita selalu memunculkan kontroversi. Salah satu kasus yang dulu
pernah menghebohkan adalah penampilan penyanyi Sophia Latjuba yang dianggap
sangat vulgar di salah satu majalah. Sang artis menganggap, tampilannya bukan
termasuk kategori pornografi, melainkan merupakan karya seni fotografi.
Artis lain yang
dulu terkena kritikan adalah Nafa Urbach. Penampilannya yang sangat sensual di
salah satu VCD-nya dianggap terlalu mengundang gejolak birahi bagi yang
melihatnya. Penyanyi asal Magelang ini pun memberikan alasan yang sama, bahwa
yang ditampilkan adalah karya seni. Kini, Inul pun mempunyai argumen yang sama.
Baginya, goyangnya adalah karya seni yang memang sudah menjadi ciri khas musik
dangdut. Ini juga diakui oleh diva dangdut, Kristina, yang mengatakan bahwa
dangdut memang sudah identik dengan goyang.
Masyarakat
antipornografi mengomentari bahwa goyang Inul akan merusak generasi muda dan
generasi tua, karena pakaian yang dikenakan terlalu ketat, goyangnya terlalu
heboh.
Lalu kenapa goyang
sinetron-sinetron India tidak mendapatkan protes keras? Dua argumen yang
sebenarnya sama-sama tidak jelas inilah yang selalu memunculkan kontroversi.
Alasan seni yang tidak disertai dengan penjelasan konsep seni dalam produksi
dan pemilihan medianya, dan di sisi lain, para pengkritik juga hanya menekan
masalah kata "terlalu" - baik yang menyangkut kevulgaran, sensualitas
(ngebor), cara berpakaian (ketat) - yang tidak jelas batasan-batasannya.
Masalah etika
memang selalu mengundang kontroversi, karena hanya merupakan rambu-rambu yang
bersifat persepsional. Namun sebenarnya ada beberapa alat yang bisa membantu
untuk mengategorikan apakah suatu objek termasuk etis atau tidak etis.
Pertama adalah
tujuan awal sebuah produk/aktivitas dikerjakan. Ini menjadi bagian terpenting
karena akan menentukan cara-cara yang akan digunakan dalam mencapai tujuan.
Kedua adalah legalitas, apakah objek tersebut benar-benar sah menurut
undang-undang atau hukum yang berlaku. Ini semua akan menyangkut pada masalah
keamanan dan kenyamanan dalam mengonsumsi objek (produk atau jasa). Ketiga
adalah kejujuran (honesty), apakah yang dijanjikan sesuai dengan yang
diberikan sehingga ada jaminan bagi konsumen yang memang memilih objek
tersebut.
Keempat adalah
nilai-nilai, yang kesemuanya akan menyangkut masalah standarisasi pada
penilaian baik dan buruk atau salah dan benar yang dianut oleh masyarakat.
Untuk standarisasinya bisa menggunakan agama, budaya,dan kebiasaan/tradisi.
Untuk kasus ini,
dari sisi tujuan, Inul mulai terobsesi menjadi penyanyi dangdut karena ingin
tampil seperti penyanyi di kampungnya yang sering tampil di pesta dengan pakaian
ketat dan belahan tinggi serta goyangan yang menghebohkan. Jelas sekali bahwa
tujuan awal dari Inul adalah menjadi penyanyi dangdut yang ''menyihir''
penonton dengan pakaian ketat dan goyangannya.
Di sisi legalitas,
VCD Inul ini merupakan produk-produk ilegal, yang pengambilan gambarnya
dilakukan waktu Inul tampil di acara-acara pesta/kondangan. Semua gambar
yang ditampilkan terlepas dari gunting sensor dari pihak-pihak yang berwenang.
Akibatnya proses pemasaran dan pendistribusiannya juga tanpa labeling
yang jelas, terutama menyangkut area pemasarannya dan target konsumennya.
Hal inilah yang
menjadikan masyarakat antipornografi dan MUI menjadi sangat gusar. Untuk
masalah kejujuran, karena VCD yang beredar ilegal maka kriteria ini jelas tidak
terpenuhi.
Yang terakhir
adalah nilai-nilai, yang dilihat dari sisi agama,budaya dan adat-istiadat.
Seperti dikemukakan oleh masyarakat antipornografi, yang pertama harus dilihat
dari sisi artinya terlebih dulu. Apakah goyang dan cara berpakaian Inul saat
tampil di panggung dibenarkan oleh agamanya, budayanya atau norma-norma yang
berlaku di masyarakatnya atau tidak? Jika Inul tidak bisa memenuhi kriteria
itu, tentu saja penyanyi Pasuruan ini harus mau menerima imbauan dari MUI atau
masyarakat antipornografi, suka atau tidak suka.
Tapi ada baiknya
kita mau melihat dengan berbagai perspektif yang lebih luas, sehingga tidak
hanya mengekspose kesalahan objek, tetapi juga pelaku-pelaku di balik objek.
Landasan Etika
Profesi
Untuk melihat
landasan etika profesi, kita bisa menggunakan dua pendekatan. Pertama,
pendekatan rumusan tentang profesional dan kedua kepentingan profesional dan
kepentingan publik.
Seperti dijelaskan
oleh Daryl Koehm, rumusan tentang profesional lebih bersifat dialektis, artinya
secara intrinsik bersifat normatif, sehingga siapa yang memenuhi syarat sebagai
profesional berbeda-beda menurut norma-norma yang harus ditaati. Namun demikian
ia memberikan batasan yang jelas, yaitu kaum profesional adalah mereka yang
dianggap menjadi agen yang dapat dipercaya bagi klien/pasarnya karena (1)
mereka memang ahli, (2) mereka pemberi pelayanan -yang demi uang- akan menaati
keinginan klienya/pasarnya, (3) mereka memiliki pengetahuan, kecakapan, dan
pengalaman yang memungkinkan mereka untuk bertindak secara moral dengan benar.
Pada kasus Inul,
rumusan pertama dan kedua nampaknya sudah terpenuhi. Ia memiliki keahlian dan
memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan pasar. Namun untuk landasan yang
ketiga nampaknya belum terpenuhi. Beberapa indikasi yang menunjukkan tidak
terpenuhinya landasan ketiga ini adalah ketidaktahuan Inul tentang peredaran
VCD gelap, yang sebenarnya merupakan kegiatan ilegal. Dengan melihat kondisi
ini, nyata sekali bahwa meskipun telah memiliki keahlian dan kemampuan melayani
keinginan pasar, tetapi Inul belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
cukup yang terkait dengan profesi yang dijalaninya.
Dalam kaitannya
antara kepentingan profesional dan kepentingan publik terdapat dua model
hubungan, yaitu kepentingan umum yang dikembangkan melalui pengabdian
profesional yang khusus kepada klien secara perseorangan, dan moralitas
profesional sama dengan moralitas publik. Pertama, profesional harus memahami
bahwa kesetiaan mereka untuk melayani kemauan pasar dibatasi oleh keinginan
anggota masyarakat yang lain, yang juga merupakan bagian dari kebaikan yang
dikembangkan oleh profesional.
Pemahaman ini pada
akhirnya akan mampu menjadi daya dorong bagi profesional untuk meningkatkan imagenya
di masyarakat umum, yang bisa menjadi pasar potensial mereka di masa yang akan
datang.
Seorang artis tidak
bisa hanya menuruti kemauan penontonnya -yang dalam kadar emosional tertentu-
kadang melewati norma-norma yang secara umum berlaku di masyarakat.
Yang kedua, seperti
yang dijelaskan oleh Alan Goldman bahwa moralitas profesional - seperti
moralitas biasa - harus terdiri dari penghormatan pada hak-hak kepada semua
manusia otonom dan rasional.
Seorang profesional
harus peka terhadap kebaikan/kepentingan pihak-pihak yang ada di sekitarnya.
Dengan perimbangan
hubungan ini, justru akan menyeimbangkan antara kepentingan masyarakat secara
umum dengan kepentingan profesional.
Impian
Inul dan Sumanto
bisa jadi merupakan cermin impian kelompok marginal di tengah-tengah
ketidakpastian sosial ekonomi sekarang ini. Mereka ingin sama seperti sebagian
masyarakat lain, yang dengan mudah - dengan waktu relatif singkat mampu
mengangkat status sosial ekonominya pada posisi yang menggiurkan.
Ketidakpahaman
tentang jalur-jalur yang harus ditempuh, serta minimnya tingkat pendidikan telah
membuat mereka melakukan jalan pintas, yang ternyata dianggap tidak normal oleh
sebagian masyarakat lain.
Dengan keterbatasan
wacana yang dimiliki, ia melihat ketatnya persaingan di bisnis hiburan.
Satu-satunya cara untuk mengambil peluang adalah melakukan diferensiasi produk,
yaitu goyang dengan putaran yang heboh, yang disebut oleh orang lain sebagai
''goyang ngebor''.
Strategi yang
dimainkan Inul ternyata berhasil, karena pasar dangdut yang sebagaian adalah
masyarakat menengah ke bawah benar-benar menerimanya.
Inul belum menjadi
artis yang paham tentang hak-hak pribadinya yang tidak boleh diintervensi atau
diinjak oleh orang lain.Impiannya sederhana: tanggapannya makin laris, bisa
terkenal, dan bisa tampil di layar televisi. Ia tidak menuntut ke produser
amatiran yang merekam aksi panggungnya dan kemudian menjualnya ke pasaran.
Ini sangat berbeda
dari artis-artis papan atas yang telah paham tentang hak-haknya. Kita bisa
melihat bagaimana artis Bella Saphira menuntut perusahaan sabun mandi yang pernah
mengontaknya gara-gara masih memasang gambarnya, di saat masa kontraknya habis.
Bisa jadi Inul malah senang, ketika VCDnya dimiliki banyak orang, ditonton
banyak orang, dibicarakan banyak orang, meski ia tidak menerima royalty
sama sekali.(18)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as