Jodoh adalah problema serius. Kemana pun mereka melangkah,
pertanyaan-pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi. Kapan aku menikah? Aku
rindu seorang pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong
bayi, kapan giliranku dipanggil ibu / bapak? Aku jadi ragu, benarkah aku punya
jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?
Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang ketika
berbicara soal jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang
kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius tentang kriteria
calon idaman. Nah, di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu
berawal. Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'bagian masalah', namun
kemudian justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.
Di sini orang berlomba mengajukan "standarnisasi" calon: wajah rupawan,
berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar
belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas kesalehan.
Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan, "Apa salahnya?" Memang,
ada juga jawaban lain, "Saya tidak pernah menuntut. Yang penting bagi saya
calon yang saleh saja." Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat
keriput mulai menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar senyum pun
mahal.
Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan oleh
mereka yang memiliki sifat superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria
calon memang sesuai, namun kriteria tidak pernah menjadi penentu sulit atau
mudahnya orang menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali
menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama ini.
Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita.
Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah,
sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas
menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.
Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari
film-film picisan ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang
bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian,
dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul.
Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk
berletih-letih membina keluarga.
Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal
ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai
penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?
Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi
manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar
kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan
itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang
menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada
akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.
Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap
untuk itu? "Tidaklah Allah membebani seseorang sesuai kesanggupannya.". Di
balik fenomena "telat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah.
Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus
dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita
kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah
lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?
pertanyaan-pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi. Kapan aku menikah? Aku
rindu seorang pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong
bayi, kapan giliranku dipanggil ibu / bapak? Aku jadi ragu, benarkah aku punya
jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?
Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang ketika
berbicara soal jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang
kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius tentang kriteria
calon idaman. Nah, di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu
berawal. Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'bagian masalah', namun
kemudian justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.
Di sini orang berlomba mengajukan "standarnisasi" calon: wajah rupawan,
berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar
belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas kesalehan.
Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan, "Apa salahnya?" Memang,
ada juga jawaban lain, "Saya tidak pernah menuntut. Yang penting bagi saya
calon yang saleh saja." Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat
keriput mulai menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar senyum pun
mahal.
Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan oleh
mereka yang memiliki sifat superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria
calon memang sesuai, namun kriteria tidak pernah menjadi penentu sulit atau
mudahnya orang menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali
menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama ini.
Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita.
Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah,
sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas
menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.
Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari
film-film picisan ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang
bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian,
dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul.
Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk
berletih-letih membina keluarga.
Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal
ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai
penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?
Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi
manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar
kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan
itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang
menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada
akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.
Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap
untuk itu? "Tidaklah Allah membebani seseorang sesuai kesanggupannya.". Di
balik fenomena "telat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah.
Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus
dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita
kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah
lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as