Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    wawancara bersama Dr. Dien Syamsuddin

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    wawancara bersama Dr. Dien Syamsuddin Empty wawancara bersama Dr. Dien Syamsuddin

    Post by admin Sun Feb 06, 2011 10:21 pm



    SABILI, EDISI 25 TAHUN 2003

    Prof. DR. Din Syamsuddin
    Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia:
    "Jangan Pilih PDIP"
    Alhamdulillah, Akhirnya jadi juga RUU Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional)
    disahkan menjadi Undang-undang. Tarik ulur sempat mewarnai pengesahan ini.
    Kalau dikerucut maka terjadilah dua kubu, mendukung dan menolak, yang
    masing-masing diwakili oleh kubu Islam dan Kristen. Ketegangan tidak hanya
    terjadi di parlemen tapi juga di luar parlemen. Perang wacana terjadi di
    forum seminar, kolom surat kabar dan talk show televisi. Bahkan perang
    terjadi juga di jalanan, demonstrasi marak di mana-mana.

    Salah seorang yang 'berkeringat' dalam upaya pengesahan ini adalah Prof. DR.
    Din Syamsuddin, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia. Pria yang akrab
    dipanggil Pak Din, tidak saja sibuk menangkis alasan-alasan mereka yang
    tidak setuju tapi juga memimpin langsung 60 Ormas Islam untuk 'menyatroni'
    fraksi-fraksi di DPR, termasuk Fraksi PDI Perjuangan. Tapi sayang hingga
    sekarang surat permohonan untuk audiensi ke Fraksi tersebut tak mendapat
    tanggapan. Karena itu sikap FPDIP yang meminta sosialisasi pada detik-detik
    akhir cukup membuat bingung Guru Besar Politik Universitas Islam negeri
    Jakarta ini. "Ah, usulan sosialisasi pada detik-detik akhir, usulan yang
    mengada-ada saja!" katanya. Usaha Din juga tidak tanggung-tanggung, dialah
    yang memimpin langsung demo sejuta umat mendukung pengesahan pada 10/6 lalu.
    Demo yang cukup berarti dan signifikan.

    Di antara kesibukan tokoh Muhammadiyah ini, Eman Mulyatman yang ditemani
    fotografer Arif K berhasil mewawancarainya disebuah ruangan di Universitas
    Muhammadiyah, Ciputat, Jakarta. Usai memberikan ceramah pada seminar
    bertajuk: Memantapkan Kemandirian untuk Menunjang Kedaulatan Negara Tinjauan
    Ekonomi, Din banyak berkomentar. Berikut petikannya:

    Penolakan RUU Sisdiknas membuat kita melihat ada semacam fundamentalisme
    agama (Kristen)?
    Ya, fundamentalisme keagamaan itu sebuah fenomena universal. Dia muncul
    dalam setiap episode sejarah dan di semua -atau hampir semua- komunitas
    keagamaan, tidak hanya Islam. Fundamentalisme agama, ada pada Hindu, Budha
    bahkan Sinto. Istilah fundamentalisme agama muncul pertama kali dalam agama
    Kristen. Yang waktu itu menolak secara absolut ilmu pengetahuan yang
    bertentangan dengan agama. Karena itu, kalau sekarang ada fundamentalisme
    agama, itu terdapat pada semua agama di dunia, tak terkecuali Indonesia. Di
    Amerika Serikat, kita tengarai sekarang ini bangkit fundamentalisme Kristen
    yang sangat kuat, bahkan berkoalisi dengan fundamentalisme Yahudi yang
    disebut dengan Judeo Christian Coalition, dan sangat mempengaruhi Presiden
    Bush. Dan kalangan fundamentalisme Yahudi-Kristen inilah yang mendorong
    pemerintahan Amerika Serikat untuk menyerang dunia Islam, Irak dan juga
    rencana terhadap Iran.

    Di Indonesia tidak bisa kita ingkari, fundamentalisme Kristen juga muncul.
    Mereka itulah yang mengadakan pertemuan besar-besaran di Istora beberapa
    waktu lalu. Bahkan mengajak mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid untuk
    berceramah. Lewat vcd, kita lihat Gus Dur diperlakukan semacam 'dibaptis'.

    Dibaptis?
    Iya, saya mungkin tidak menyatakan sejauh itu, tapi yang bersangkutan mau
    dan ikhlas dibegitukan...ha ha ha dibegitukan (semacam dibaptis)! Juga
    kelompok-kelompok ini menerbitkan majalah-majalah yang tidak
    tanggung-tanggung dengan istilah bahasa Arab. Ada Al-Aqidah Ukhuwwah,
    pokoknya istilah-istilah Islam dipakai. Lalu mereka menyelewengkan ayat
    al-Qur'an dan istilah Islam tadi untuk kepentingan mereka, ini dilakukan
    oleh Kristen fundamentalis. Termasuk oleh pendeta yang pernah diancam
    hukuman mati oleh para ulama Bandung, Suradi!
    Tapi sayangnya media massa Indonesia tidak mau mengangkat ini sebagai
    fundamentalis. Hanya kalau orang Islam, langsung dicap sebagai
    fundamentalis.

    Soal Gus Dur tadi, apa sudah sampai tingkatan kafir?
    Saya belum melihat secara seksama. Tapi bahwa dia diundang ceramah di dalam
    forum atau pertemuan akbar kaum Kristiani di Istora dan kemudian beberapa
    pendeta, bahkan dari Amerika Serikat dalam bahasa Inggris mendoakan dia.
    Saya tidak tahu apa itu dibaptis, diurapi atau sekadar didoakan. Cuma yang
    jelas doanya tidak terkabulkan, karena salah satu doanya: "Ya Tuhan, Yesus
    Kristus, berilah penyembuhan terhadap orang ini, bukakanlah matanya." Tapi
    ternyata tidak makbul.

    Tidak hanya Gus Dur yang didekati kan?
    Ada segelintir orang Islam, yang berpikir lain, kita tahulah siapa mereka.
    Mereka yang lebih memenangkan aspirasi kelompok lain dan sok kritis terhadap
    umat Islam sebenarnya mereka juga tidak fair. Apa yang mereka sampaikan juga
    tidak ilmiah. Keluar dari konteks, karena mereka ingin pendidikan itu
    substansi. Pendidikan tidak cuma lewat jalur sekolah itu betul, lewat
    masyarakat dan keluarga. Kita juga setuju itu. Tapi jangan juga menghalangi
    ini untuk masuk dalam UU. Mereka tidak fair karena mereka juga tidak
    mengritik ada sekolah lain yang menjalankan agama yang bersifat
    indoktrinasi. Ini saya kira bukan pandangan ilmiah yang melihat persoalan
    secara luas. Tapi lebih karena ingin dipandang sebagai pemikir inklusif.

    Mereka beralasan atas dasar asas pluralisme dan HAM?
    Dari berbagai segi UU ini sudah memenuhi pluralisme. Itu juga, HAM karena
    ada kemerdekaan. Meski demikian saya tidak menuduh bahwa mereka sudah
    terkooptasi. Tapi Jangan paksa anak pada usia perkembangan diberi pendidikan
    lain. Ya nggak bisa pada anak SD - SMP, diberi pendidikan ilmu perbandingan
    agama. kedua, oleh siapa? Kalau lintas agama diberikan oleh guru yang
    berbeda keyakinan, sudah tentu tidak obyektif. Pemikir-pemikir yang sok
    intelektual ini, tidak memikirkan itu. Kalau mau lintas agama, ok, tapi oleh
    guru yang seagama.

    Jadi segala cara mereka tempuh, termasuk 'memakai tokoh Islam', dan tokoh
    mereka sendiri turun gunung, seperti Radius Prawiro yang mengirim surat
    langsung pada Presiden Mega?
    O, iya. Saya kira benar mereka all out, bahkan sampai titik-titik terakhir.
    Tokoh-tokoh utamanya ikut melobi pimpinan DPR. Memang ada kepentingan besar
    dibalik ini yang mengganggu kepentingan Kristiani di Indonesia. Karena
    ketika kita berdiskusi di tataran substansi, hampir tidak ada alasan yang
    bisa disebut masuk akal untuk menolak RUU Sisdiknas yang menyangkut
    pendidikan agama dan tujuan pendidikan nasional. Umpamanya ketika kita
    tanyakan; "Apakah pendidikan agama itu tidak baik?" Mereka pasti akan
    menjawab baik. Lalu diberikan kepada anak didik sesuai agamanya oleh guru
    yang se-akidah kan juga baik. Tapi kenapa ditolak? Kemudian dicoba berdalih
    dengan mengemukakan alasan pada kami, bahwa tidak boleh ada intervensi
    negara terhadap agama.

    Bagaimana dengan ancaman memisahkan diri?
    Ah, itu hanya emosi. Kita sayangkan kenapa selalu memakai ancaman seperti
    itu. Apa tidak khawatir, bila mayoritas bangsa menyatakan hal yang sama? Itu
    saya kira suatu sikap yang kekanak-kanakkan. Punya keinginan kalau
    keinginannya tidak terpenuhi dia ngambeg dan ngancam, ngancamnya tinggi.
    Sebenarnya ini tidak boleh terulang lagi. Untuk diketahui, gara-gara sikap
    kekanak-kanakkan inilah umat Islam bereaksi, kemarin (Selasa 10/6). Jadi
    reaksi umat Islam itu belakangan, justru mereka yang memulai. Kita berdemo
    karena ada demo penolakan. Ada utusan dari DPRD Sulawesi Utara, dari Ende
    datang ke DPR, memberikan ancaman seperti itu. Barulah kalangan Islam
    bereaksi.

    Dengan disahkannya UU Sisdiknas, Apakah berarti pertarungan sudah selesai?
    Saya kira belum. Saya setuju dengan istilah kita menemukan bongkahan es yang
    di bawah permukaannya jauh lebih besar. Pertama, ada dua hal mendasar, ada
    perbedaan paradigma antara umat Kristiani dan umat Islam, menyangkut
    hubungan agama dan negara. Kaum Kristiani menganut paradigma separatisme
    beragama dan negara terpisahkan, karena itu jangan ada intervensi negara ke
    dalam wilayah kehidupan beragama. Sementara umat Islam memahami paradigma
    sebaliknya yaitu, integralisme. Ada penyatuan hubungan antara agama dan
    negara. Ini akan terus menjadi kontroversi kalau tidak dicari jalan keluar.
    Tapi agak sulit, kecuali ada yang bertoleransi. Kalau seandainya paradigma
    kristiani yang dianut, tentu kita tidak setuju. Kalau itu dipaksakan berarti
    mengingkari sejarah kebangsaan kita.

    Kita lihat seruan-seruan pimpinan mereka baik pimpinan agama, ormas maupun
    politik dipatuhi, bagaimana dengan MUI? Apa cukup efektif seruannya?
    Alhamdulillah, seruan MUI pada tingkat tertentu disambut. Bahkan pertama
    kali begitu masalah ini mencuat, kita instruksikan tidak usah unjuk rasa
    dulu, cukup kita intensifkan lobi. Kemudian itu ditaati, tapi begitu
    saatnya, mari kita lakukan tekanan-tekanan politik, itu diseluruh Indonesia
    bergerak. Itu dipelopori oleh MUI dan ormas-ormas Islam tertentu. Ada
    diskusi publik, diberbagai kota di tanah air, bahkan di tingkat Kabupaten.
    Lalu ada unjuk rasa besar-besaran, kebetulan saya juga hadir, di Jakarta,
    Surabaya dan Solo. Termasuk yang terakhir itu diprakarsai oleh Forum Ukhuwah
    Islamiyah di MUI berdasarkan kesepakatan dengan ormas-ormas Islam.
    Alhamdulillah ada manfaatnya.

    Apakah ini juga didasari oleh memori umat Islam, yang kecewa dengan
    'kekalahan' Piagam Jakarta dulu?
    Bukan karena itu. Di antara kita juga ada yang tidak serta-merta menyetujui
    Piagam Jakarta. Sebagai bunyi seperti itu walau berpegang pada nilai-nilai
    Islam. Tapi lebih pada. Pertama, ada akumulasi kekecewaan, karena diktum
    soal pendidikan agama diberikan pada peserta didik sesuai dengan agama yang
    dianutnya dan oleh guru yang seagama itu sudah ada dalam UU SPN (Sistim
    Pendidikan Nasional) tahun 1989 tetapi waktu itu, dimentahkan oleh surat
    seorang tokoh Katolik, AW Pranarta yang kemudian mempengaruhi peraturan
    pemerintah. Memberikan dispensasi kepada pendidikan khusus, seperti sekolah
    Islam, Muhammadiyah, Sekolah Kristen, tidak usah menjalankan amar dari UU
    itu. Sementara itu terjadi pemurtadan, jadi ada akumulasi kekecewaan dari
    umat Islam. Di situ ditulis kewajiban sekolah. Anak suka atau tidak harus
    mengikuti. Sekarang diturunkan, pada UU Sisdiknas itu derajatnya, Hak
    peserta didik. Sudah diturunkan kok ada yang protes? Ini faktor kedua yang
    mengundang umat Islam bereaksi. Ketiga, kenapa demonstrasi itu keras dan
    massif di beberapa daerah, adalah karena ada fakta pemurtadan. Yang banyak
    orang mengingkari, ketika ini ditolak oleh kalangan (terutama) Kristiani.
    Ini dianggap mereka memang menginginkan pemurtadan itu. Maka bertambahlah
    reaksi itu. Keempat, karena adanya partai politik tertentu, PDIP yang berada
    pada jalur kepentingan minoritas ini. PDIP dianggap lebih mendengar suara
    minoritas dan mengabaikan mayoritas. Ini yang ikut mendorong umat Islam
    bereaksi.

    Dengan PDIP, yang sampai detik terakhir tidak hadir....
    Itu menjadi faktor pemicu dan menjadi catatan penting untuk ke depan. Karena
    ada parpol yang tidak mau memperjuangkan aspirasi umat Islam yang mayoritas,
    justru mementingkan aspirasi umat lain.

    Apa himbauan Anda, sebagai salah seorang pemimpin MUI?
    Ya saya kira tokoh umat Islam sudah mengatakannya, kalau begini terus maka
    partai itu (PDI Perjuangan, red) jangan dipilih lagi.

    Anda ingin mengatakan haram memilih PDIP?
    Kita tidak sampai mengeluarkan fatwa dan untuk hal-hal seperti ini kita
    tidak perlu fatwa. Sudah dengan sendirinya. Sedangkan untuk menyekolahkan di
    sekolah Kristiani, memang ada desakan, untuk mengharamkan. Ini belum
    dipertimbangkan oleh MUI Pusat, tapi MUI Yogyakarta, sudah mengeluarkan
    fatwa itu. Tidak disebut Kristen. Jangan menyekolahkan anak pada sekolah
    yang bisa memurtadkan mereka, begitu.

    Sikap PDIP tadi bisa menjadi bumerang bagi PDIP?
    Saya kira kalau kita baca statemen resminya, kita memang menangkap sikap
    seperti itu. Cenderung menghambat pengesahan UU Sisdiknas, sejak awal,
    dengan tidak datang pada rapat akhir Panja RUU Sisdiknas (25/4), itu gelagat
    tidak baik. Kemudian berupaya mengulur-ulur waktu. Ketiga, tidak datang baik
    pada tanggal 10 maupun 11 Juni. Menurut hemat saya ini sikap yang
    mengabaikan demokrasi, tidak gentle dan melecehkan lembaga DPR itu sendiri.

    Ada tanda semacan tirani minoritas yang terjadi saat ini?
    Itu yang menjadi faktor reaksi umat Islam, karena ada gelagat tirani
    minoritas. DPR lebih mendengar meski tidak secara keseluruhan, khususnya
    Fraksi PDIP, yang lebih mendengar suara minoritas. Dalam demokrasi ini tidak
    bisa seperti itu. Termasuk media-media tertentu. Ada ketidak adilan, yang
    kita yakini sebagai tirani minoritas, sebagaimana kita tidak ingin adanya
    diktator mayoritas.


      Waktu sekarang Sun May 19, 2024 6:19 am