Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    bayang merah sebrenica

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    bayang merah sebrenica Empty bayang merah sebrenica

    Post by sumanto Tue Aug 10, 2010 1:11 pm

    Bayang Merah Srebrenica


    Retno Biber


    Senin,
    31 Januari 05






    Aku melangkah menuju halte tram di
    pusat kota Sarajevo yang dikenal dengan nama Bascarsija, tempat pusat suvenir
    bagi turis-turis. Kakiku memasuki tram yang menuju arah apartemen. Akhir musim
    semi, tapi sudah begitu hangat cuacanya. Yah, seingatku saat bertandang ke
    Jerman ke rumah Baka, beliau selalu bilang bahwa Bosnia itu negeri yang indah
    di Eropa. Karena ketika musim dingin, suhunya tidaklah terlalu menusuk tulang,
    begitupula musim seminya terasa lebih cepat dan lebih hangat dibanding
    negara-negara Eropa Utara. Baka adalah nenekku. Aku tinggal bersama tata dan
    mamaku di Sarajevo.



    Ayahku seorang muslim dan ibuku
    keturunan Kroasia yang sudah turun-temurun tinggal di Sarajevo. Tak tahu apa
    jadinya aku ini, apakah orang Bosnia atau Kroasia? Aku tak mau peduli. Hanya
    satu hal yang aku mau, sukses menjadi seorang dokter. Titik.



    Tata memiliki nama muslim.
    Sedangkan namaku netral. Namun nama margaku sangat mencolok dan bisa diketahui
    kalau ayahku seorang muslim. Yah, Nevenka Muminovic, itulah namaku. Seperti
    sebuah identitas di Bosnia Herzegovina, kami yang berbeda etnis memiliki nama
    yang menunjukan identitas. Apakah kamu Serbin, muslim, ataukah Hrvat?



    Baru
    saja kakiku menapak, setelah
    keluar dari sesaknya tram di Sarajevo, tiba-tiba kulihat anak lelaki
    kecil
    berkulit gelap selayaknya kaum gipsi yang tinggal nomaden di sisi-sisi
    kota Sarajevo, berlari melesat seiring dengan lenyapnya tasku



    ˝Boze! Copet! Copet!
    Tolong!!” teriakku kencang sambil aku juga berlari mengejarnya di tepi-tepi
    pusat pertokoan Ferhadija. Orang-orangpun ikut mengejar, namun apa daya kalau
    ternyata kaki-kaki mungil anak itu lebih kencang berlari.
    ˝Ohhhhh… shit!” rutukku Akupun harus berhenti karena napasku tersengal-sengal.
    Langit langsung terasa gelap. Uang untuk penelitian, biaya alat praktek dan
    sebagainya lenyap. Hilang!! Aku hanya bisa duduk tak berdaya di kursi taman
    sementara rasa panas menjalar dari kedua bola mataku. Kuremas dan kurapatkan
    sisi depan jaketku walau tak terasa dingin. Bukan karena dingin… hanya saja aku
    geram. Bagaimana bodohnya sampai pengemis kecil itu mencopet tasku. Siang
    terang benderang ini terasa sangat gelap untukku.



    ***


    “Oh jadi begitu?” tanya suara di
    seberang sana.



    “Yup. Sampel tulang, buku anatomi
    dan peralatan praktek kita semua, amblas,” kataku



    “Kamu sudah lapor polisi belum?”
    tanya, temanku yang juga masuk dalam tim penelitian kami.



    “Sudah, hari itu juga aku sudah
    lapor polisi dengan Tata. Tapi aku tidak terlalu berharap banyak mengingat kamu
    tahu bagaimana susahnya mengejar para gypsi di Sarajevo. Mereka saling membantu
    dalam aksi pencopetan.”



    ˝Ya, aku mengerti. Kita harus
    memikir bagaimana cara mendapatkan bahan-bahan praktikum ini,” katanya.



    Kutempelkan telapak tanganku di
    dahiku, ”Hmm, gimana ya?˝ Tiba-tiba aku mendengar suara tayangan iklan
    tentang pencarian Radovan Karadzic dan Ratko Mladic di TV. Penjahat perang,
    most wanted. Dicari hidup-hidup atau mati.



    “Bravo!! Eh, Aida, aku tahu yang
    harus kita lakukan!” Kkututup segera gagang telepon yang menandai berakhirnya
    percakapanku dengan Aida.



    ***


    ˝Cestitam!! Saya harap kalian
    tidak akan undur diri kalau memang kami ingin membantu anda semua. Ini bukan
    misi yang biasa dilakukan mahasiswa kedokteran. Terus terang kami belum pernah
    melibatkan tim di luar yang dipimpin oleh atasan kami. Kalau kalian bisa
    membantu kami, kami juga akan membantu anda semua. Mengerti?”



    Lelaki berumur 40-an yang memiliki
    tatap mata tajam itu menatap kami. Mirzet Halilovic, petinggi misi yang sedang
    kami ikuti.



    Aku, Aida, Ammar, dan Edin adalah
    tim yang dilibatkan dalam pengidentifikasian tulang-tulang dari korban ethnic
    cleansing tragedi Srebrenica tahun 1995. Gila!! Aku tidak pernah mengira akan
    dikirim ke tempat ini sebelumnya. Hal ini semua harus kami hadapi setelah aku
    berhasil melobi Palang Merah Internasional dan Bosanska Vlada yang mengizinkan
    kami semua bergabung dalam tugas ini. Tahun 2003, ini berarti kejadian itu
    sekitar 8 tahun yang lalu.



    Sejak
    pembantaian Srebrenica , dilaporkan
    8000 muslim laki-laki dewasa dan anak-anak menghilang. Sebenarnya telah
    dilaporkan pula total penduduk yang tewas dalam peperangan Bosnia
    adalah sekitar 200.000 jiwa. Ini bukan jumlah kecil bagi negara yang
    berpenduduk
    hanya 4 juta jiwa.



    “E,h tolong pindahkan setiap
    bungkusan ini ke dalam kotak-kotak yang telah tertulis nama di penutupnya,”
    cetus Edin. Edin seorang muslim, seperti Ammar dan Aida. Hanya akulah
    satu-satunya yang tidak jelas statusnya. Ya, di Bosnia Herzegovina itu biasa. Banyak orang kawin campur antar agama.



    “Biar aku yang memasukkan
    potongan-potongan ini ke dalam kotak, dan kamu membantuku. Bisa?” kata Ammar.
    Akupun segera mengenakan sarung tangan. Mataku mengerjap membaca nama-nama di
    kotak untuk tulang-tulang belulang itu. Husein, Emir, Zejnil, Hamzah, bahkan
    lengkap dengan nama marganya. Glek! Kutelan ludahku segera ketika melihat
    potongan baju berwarna kuning, baju anak-anak. Ya Tuhan, dosa apa yang mereka
    panggul hingga diperlakukan seperti ini? Bulu kudukku merinding. Aku lihat Aida
    juga serius melakukan hal yang sama denganku. Kami memasukkan potongan-potongan
    tulang itu ke dalam plastik lalu menempatkannya kembali ke dalam kotak-kotak
    terpisah.



    “Aku tidak menyangka mereka
    sekejam ini membantai orang-orang tak berdosa. Aku takut, nanti malam aku tidak
    bisa tidur karena ingat tulang-tulang ini,” ˝kataku sambil membetulkan
    letak penutup kepalaku. Kami memang bekerja dengan pakaian tertutup.



    “Apa kamu percaya bahwa orang yang
    mati akan bisa bangkit lagi, Nevenka?” potong Ammar sambil menatapku.



    “Hmm, aku percaya akan kematian.
    Cuma apakah mereka yang mati akan dibangkitkan lagi?˝



    “Sebagai muslim akupercaya bahwa
    tulang-tulang yang sedang kita kumpulkan dan selidiki ini, akan mampu merapat
    kembali membentuk rangka dan menjadi tubuh sempurna lagi. Ja Vjerujem,” sahut
    Ammar.



    Mataku membelalak dan entah apa
    lagi yang ingin aku katakan saat ini. Aku shock sekali melihat pemandangan ini
    semua. Masih ditambahi omongan-omongan kacau dari temanku itu. Akupun segera
    melepaskan sarung tangan setelah selesai pada kotak terakhir.



    ***


    Suara derit pintu menggema saat
    aku memasuki ruangan yang kukunjungi tiga bulan yang lalu sewaktu Bozic.
    Sebagai penganut katolik Roma, Mama dan aku--yang waktu itu hanya ingin
    menemaninya saja, merayakan hari Bozic bersama jemaat katolik.



    Gereja Katolik Roma St. Ivan
    Krstitelj. Gereja ini dibangun di Sarajevo sejak tahun 1919. Dinding-dinding
    pucat, atap berbentuk setengah lingkaran menjulang setinggi 10 meter dihiasi
    gambar-gambar riwayat nabi-nabi. Ada salib besar di tengah altar yang ditemani
    oleh 2 patung dari sosok yang diimani penganut katolik. Sebenarnya aku hanya
    beberapa kali memasuki gereja ini. Menemani mamaku, itu saja alasanku.
    Sedangkan Tata? Tata tak pernah masuk masjid walau dia mengaku beragama Islam.



    “Nak, ada yang bisa kami bantu?”
    tanya seorang suster. Dia ternyata telah memperhatikanku sejak aku datang ke
    sini. Ya, dia suster katolik yang tinggal di asrama dekat gereja ini.



    “Sestro, saya hendak mencari
    Tuhan. Apakah saya datang kepada tempat yang benar?” kataku kepadanya



    ”Ya, Tuhan selalu siap mendengar
    manusia-manusia berdoa kepada-Nya. Percayalah! Aku telah mempersembahkan
    hidupku untuk Tuhan. Aku tidak menginginkan kehidupan dunia yang lezat. Semua
    ini demi Tuhan,” sahutnya.



    ˝”Maaf, saya memang bukan
    penganut katolik yang taat. Saya hanya benar-benar ingin mengetahui lebih
    lanjut tentang keyakinan saya,” kataku sambil kutatap matanya.



    “Maka datanglah pada Tuhanmu, Nak!
    Maaf, saya harus menyiapkan missa untuk besok.,” katanya sambil berlalu.Jawaban
    suster itu membuatku gamang. Akupun duduk di kursi deret terdepan. Entahlah apa
    yang terjadi padaku. Sejak 5 pekan yang lalu setelah aku terlibat dalam
    pencarian dan pengidentifikasian tulang-belulang muslim korban Srebrenica, aku
    menjadi lebih memikirkan akan keyakinanku. Akupun yakin dengan setiap detak
    jantungku, bahwa tentu Tuhan mengutus nabi-Nya untuk ketentraman. Lalu apakah
    para Serbia itu memiliki alasan kuat untuk membunuh muslim-muslim? Apakah juga
    agama katolik yang dianut ibuku ini pantas aku ikuti? Ataukah juga agama Islam
    yang diakui tata-ku pantas direnungi.



    Kalau saja, tulang-tulang itu bisa
    berbicara padaku. Aku hendak menanyakan apa yang telah terjadi dengan jiwa
    mereka setelah terperangkap dalam pekatnya tanah. Benarkah kematian itu akhir
    kehidupan?



    Tuhan! Tolonglah aku! Tragedi
    Srebrenica ini menggigit jiwaku.



    ***


    “Memangnya itu tidak mudah
    menurutmu?” mataku menatap Aida. “Bisa dibilang demikian bagi orang-orang yang
    terlahir seperti aku. Kedua orangtuaku muslim, lihat saja namaku, Aida? Well,
    menjadi muslim itu bukan hal yang mudah, aku berpuasa di bulan ramadhan. Bajram
    itu kewajiban bagi kami, karena kami bisa bertemu dan bersenang-senang dengan
    sanak famili,” Gadis itu bercerita tentang dirinya. Dia terlahir sebagai
    muslim. Sejak aku mengikuti misi ini, aku banyak bertanya kepadanya mengenai
    Islam.



    “Aida, bukankah ketika orangtuamu
    muslim kamu juga berarti muslim bukan? Nah, sekarang pikirkanlah tentang aku.
    Aku memiliki orangtua yang berbeda keyakinan. Dan sampai detik ini aku belum
    memutuskan keyakinan mana yang hendak kujalani. Aku kadang-kadang mengikuti
    Mama ke gereja namun aku tidak yakin di sana ada kebenaran. Terlalu banyak
    hal-hal yang sukar dipahami dalam agama yang dianut mamaku.



    Sedangkan Tata? Tata-ku bilang
    bahwa dia adalah muslim tapi tidak pernah kutemukan Al-Quran di rumah kami.
    Terus terang aku takut mati! Bagaimana kalau aku mati dan menjadi tulang-tulang
    seperti korban Srebrenica itu? Kalau aku salah langkah dalam kehidupanku, apa
    aku akan selamat juga setelah kematian datang?” mataku menatap wajah di depanku
    yang



    “Itu urusan privasi kamu, Nevenka.
    Mau jadi muslimanka, Srpkinja atau Hrvatica itu bukan pilihan kita. Tuhan
    mentakdirkan kita terlahir begini, kalau aku… takdirku menjadi muslim dan
    kamu?” jawabnya sambil menaikan bahu, tanda tak mengerti.



    ***


    “Assalamualaikum warahmatullahi
    wabarakatuh,” ucap gadis bertutup kepala dengan melakukan gerakan kepala ke
    kanan lalu ke kiri.



    Di manakah aku sekarang? Kulihat
    sekeliling, tampak mimbar dan hamparan karpet penuh di ruangan ini. Ya,
    sekarang aku yakin ada di mana. Dzamija, begitulah mereka memanggil tempat suci
    muslim ini.



    “Sestro! Apa yang baru saja anda
    lakukan?”



    “Klanjam… apakah anda muslim?’
    tanya gadis itu.



    “Hmm, bukan. Aku pun tidak tahu
    kenapa aku berada di tempat ini…”



    ”Di masjid, kami menutup aurat.
    Itu salah satu bentuk penghormatan kami kepada tempat ibadah. Apakah anda
    keberatan jika saya berikan anda marama untuk menutup rambut anda?”



    ”Oh tentu,” kataku sambil menerima
    kerudung berwarna biru dari tangan gadis itu.



    Blaaaar!
    Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah jendela. Kulihat reruntuhan tembok
    dan kaca dari masjid ini menghambur ke arah kami.



    “Tolong!!” teriakku. Akupun lari
    ke arah pintu bersama gadis yang ketemui dalam masjid itu. Kamipun saling
    berpegangan dan menghambur keluar sementar mataku tak mampu melihat jelas sebab
    debu dari reruntuhan tembok telah membuat kedua bola mataku buram. Tiba-tiba
    aku disekap dari belakang oleh dua buah tangankekar.



    “Hahaha!! Muslimanka!!” suara itu
    memekakan telingaku.



    “Cetnici! Apa yang kalian mau dari
    kami?” sahut gadis berkerudung yang belum kuketahui namanya itu.
    “Diam! Aku tusuk nanti mulutmu!! Kalian perempuan-perempuan muslim harus
    menurut apa yang akan kami perintahkan! Tahu?!” sahut seorang lelaki kekar
    berpakaian militer dan di badgenya terlihat bendera kecil, warna merah.biru dan
    putih. Serbia. Militer Serbia rupanya. Tanganku terikat dan aku pun diseret
    bersama gadis itu ke dalam sebuah rumah dekat masjid. Rupanya ini rumah imam
    masjid.



    “Aku telah menangkap kakak dan
    ibumu. Hahaha… kamupun aku tangkap di dalam masjid itu, setelah kamu
    merunduk-runduk dan mencium karpet! Hahaha!” kata lelaki itu kepada gadis
    berkerudung merah. Diapun mengalami nasib sama denganku. Tangannya terikat.



    “Lepaskan aku! Keparat!!”
    teriakku.



    “Hah,
    kamu siapa? Yang kutahu kamu
    berada di masjid, dan itu berarti kamu muslim. Muslim adalah musuh
    besar kami.
    Tahu! Kami orang-orang Serbia punya misi membersihan etnis muslim. Agar
    Serbia raya jaya! Agar gemerincing lonceng Tuhan menggelora! Kalian
    harus mati!!” sahut
    lelaki berkepala botak yang memanggul senjata laras panjang.



    Kamipun
    diseret masuk ke dalam
    sebuah ruangan yang telah dipenuhi wanita-wanita. Ya, semuanya adalah
    wanita. Ada 30 perempuan di dalam ruangan itu, ada nenek-nenek tua,
    ibu-ibu dan gadis serta
    anak-anak balita. Ya Tuhan! Aku gemetar! Aku takut mereka akan
    membunuhku.
    Tuhan, aku belum siap! Tubuhku dihempaskan di sudut ruangan oleh lelaki
    botak
    itu.



    “Amina!” seorang perempuan berumur
    30-an berbisik kepada gadis yang bersamaku tadi di masjid.



    “Mama! Apakah Mama baik-baik saja?
    Di mana Kak Azemina?” seru gadis itu.



    “Azemina dibawa bersama
    gadis-gadis lain. Entahlah apa yang hendak mereka perbuat. Bajingan-bajingan
    itu telah memborgol dan membawa ayah dan kakakmu di kamp dekat Pazaric.”



    “Boze
    nam pomozi! Untunglah mereka
    tidak berbuat kejam terhadap kita, Mama. Setahuku pasukan Serbia telah
    memasuki jantung kota Srebrenica dan ini petaka besar. Sebab ke mana
    lagi kita hendak
    lari?”



    Srebrenica memang berada di
    wilayah utara Bosnia. Penduduk etnis muslim dan Serbia telah hidup bersama.
    Musim semi ini tak nampak indah seperti tiap tahunya karena aku saat ini sedang
    disekap bersama puluhan perempuan muslim. Ruangan berukuran 7 kali 10 meter ini
    terasa sesak dan dingin karena memang tidak ada penghangatnya.



    Tuhan!! Kenapa aku berada di sini?



    “Kalian semua dengarkan
    perintahku!” teriak seorang lelaki kekar berkepala botak seraya menyorongkan
    senjatanya kepada seluruh wanita di dalam ruangan ini.



    “Kalian harus menurut. Jika ada
    yang berusaha melarikan diri, peluru siap menembus kepala-kepala kalian. Untuk
    sementara kalian kami kurung di tempat ini. Makanan hanya satu kali sehari.
    Mengerti?!”



    “Hahaha, muslim-muslim kotor tak
    tahu diri. Kalian sudah untung hidup bersama Yugoslavia! Minoritas berlagak sok
    kuat. Kalau kalian kami bersihkan di muka bumi balkan ini, siapa yang akan
    menolong, hah?” ujar lelaki berambut pirang disamping si botak.



    ˝Allah yang akan menolong
    kami. Allah! Kalian adalah bajingan serakah. Aku tidak takut denganmu!”
    tiba-tiba Amina berteriak lantang dan menuding ke arah lelaki-lelaki Serbia itu.



    “Amina! Jangan, Nak!” teriak
    ibunya.



    ”Hei, kamu gadis kecil! Diam dan
    tutup mulutmu. Kamu belum tahu kawan-kawan kami di seberang sana, mungkin sudah
    mencincang tubuh ayahmu. Kalau kamu berani menentang kami, tunggu saja
    kematianmu!



    “Komandan Igor! Truk pengangkut
    makanan telah datang,” kata seorang bawahannya yang baru saja datang.
    “Baik, Milan. Walaupun mereka tawanan kita, cecunguk ini masih harus diisi
    perutnya. Kalau tidak, apa kata dunia internasional nanti? Hahaha,” teriaknya
    sambil melempar-lemparkan bungkusan roti dengan kajmak serta selai.
    Merekapun memberi tidak lebih dari itu. Ya, aku sadar sekarang aku berada di
    kamp tawanan Srebrenica. Pengap sekali ruangan ini. Ada beberapa bayi pula dan
    perempuan-perempuan yang tampak payah serta berusia lanjut.



    Aku berusaha memasukkan potongan
    demi potongan roti ke dalam mulutku. Aku masih menatap gadis yang bernama Amina
    tadi. Dia tampak begitu pemberani dan garang. Dia berusia kira-kira 17 tahun.
    Tampak Amina sedang menyuapi makanan untuk ibunya. Ke manakah kakaknya? Dia
    tadi menyebut-nyebut tentang keberadaan kakaknya.
    “Amina…” bisikku perlahan.



    “Ada apa, Kak?”


    “Apakah ada cara untuk melarikan
    diri dari tempat ini?˝” tanyaku.



    “Entahlah. Tampaknya sulit karena
    tempat ini dijaga ketat oleh para serdadu Serbia itu. Apalagi daerah Srebrenica
    telah digarap oleh mereka. Kakak lelaki dan ayahku entah ke mana perginya.
    Menurut ibuku, mereka dibawa pergi dengan truk besar dari rumahku.”



    Kulihat matahari telah bersembunyi
    di balik garis horizon. Beberapa perempuan di ruangan ini melakukan ritual
    peribadatan muslim. Aku hanya bisa memandang mereka. Tampak mereka berdoa dan
    pasrah kepada Tuhan-nya.



    Tuhan! Berapa kali Engkau kuingat
    dalam hidupku?! Entah.



    Serdadu-serdadu yang berjaga di
    depan pintu itu terkantuk-kantuk.



    “Amina, kita harus mencari jalan
    keluar dari tempat ini. Bagaimana kalau kamu pelan-pelan keluar lewat jendela
    itu?”



    “Ide yang bagus. Tapi kita harus
    menunggu agar malam lebih larut dan tidak menimbulkan kecurigaan mereka.”



    Aku menangguk tanda setuju.
    Akhirnya diapun segera membisikan ide kami melarikan diri kepada tawanan semua.

    Tepat pukul 12 tengah malam, ketika aku dengar lolongan serigala, aku dan Amina
    serta beberapa perempuan lain mengendap-endap dekat jendela. Dengan sedikit
    dorongan akhirnya kami mampu meloncati jendela tua itu. Upps!
    Semak belukar di dekat rumah tawanan ini memberi kami gerak leluasa untuk tidak
    terlihat dari serdadu-serdadu itu. Akhirnya kami sampai di dekat sebuah belokan
    jalan. Namun tiba-tiba terdengar sesuatu.



    ”Hei, cecunguk! Berhenti! sebuah
    suara dari belakang.



    Aku, Amina dan beberapa perempuan
    lain yang sempat melarikan diri semakin cepat berlari. Gelap! Tak tampak begitu
    jelas. Hingga tiba-tiba kurasakan sebuah benda panas telah menembus punggungku.
    Ahhhhh… darah! Kurasakan tubuhku sakit luar biasa! Tolong!!



    ˝Tolong! Oh… Tuhan, di
    manakah aku sekarang? Di sebuah kamar berdinding warna biru. Oh… bukankah ini
    kamar tidurku? Ya, Tuhan! Kulihat tubuhku masih utuh dan aku masih mampu
    menghirup udara. Aku masih hidup! Rupanya aku tertidur dan bermimpi sangat
    seram. Oh! Kulirik buku di dekatku. Tragedi Srebrenica, sejarah kelam area
    Balkan.



    ***


    25 Mei 2004, Potocari-Srebrenica.


    “Assalamualaikum warahmatullahi
    wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran seluruh undangan. Saat ini kami sedang
    menjalankan hak-hak atas saudara muslim kami yang telah mendahului kita menuju
    alam kekal. Alhamdulillah misi penggalian dan pengidentifikasian korban
    Srebrenica telah diselesaikan. Kepada semua pihak yang terkait, saya ucapkan
    terima kasih.”



    Seorang lelaki berumur 50 tahun,
    memakai penutup kepala berwarna putih dan memakai jubah hitam menyelesaikan
    sambutannya. Tampak di samping lelaki itu seorang lelaki berambut jarang dan
    seorang lagi lelaki bertubuh tinggi besar. Lelaki pertama yang berjubah itu
    bernama Mustafa Ceric dan dua lelaki disampingnya adalah dewan presiden Bosnia
    Herzegovina. Tepatnya beliau adalah petinggi ulama Bosnia.



    Saat
    ini aku sedang berdiri
    bersama tim gabungan pencarian korban Srebrenica. Tampak Presiden
    Bosnia
    Herzegovina, Sulaiman Tihic, sedang bersalaman dengan utusan-utusan
    dari
    kedutaan. Akhirnya, aku beserta kawan-kawan menyelesaikan misi kami.
    Bahkan
    kami telah lulus sebagai sarjana kedokteran. Dari data orang hilang dan
    korban
    yang ditemukan masih tidak sesuai. Hal ini diduga karena militer Serbia
    telah melakukan pemusnahan tubuh-tubuh korban dalam larutan kimia di
    sebuah pabrik
    dekat Potocari.



    Militer Serbia telah memusnahkan
    puluhan ribu muslim di Bosnia bagian utara. Saat ini pula Slobodan Milosevic
    diadili di Den Haag dengan tuduhan penjahat perang. Semoga keadilan di atas
    bumi ini masih ditegakkan.Dan aku begitu banyak belajar tentang kehidupan dari
    misi ini. Kehidupan? Adakah kehidupan lagi setelah kematian? Tanyakan saja pada
    tulang belulang yang saat ini hendak dikebumikan.






    Keterangan:
    Tram: kereta api listrik



    Baka: nenek


    Tata: ayah


    Serbin: lelaki etnis Serbia


    Hrvat: lelaki etnis Kroasia


    Boze: Tuhan


    Bravo: Hore


    Cestitam: Selamat


    Bosanska vlada: pemerintah Bosnia


    Ja vjerujem: Saya percaya


    Bozic: natal


    Sestro: Suster, atau sebutan untuk
    saudara perempuan



    Bajram: idul fitri


    Muslimanka: perempuan muslim


    Srpkinja: perempuan Serbia


    Hrvatica: perempuan Kroasia


    Dzamija :masjid


    Klanjam: Shalat


    Marama: kerudung


    Cetnici: Militer Serbia


    Boze nam pomozi: Tuhan, tolonglah
    kami



    Kajmak: krem susu





    Annida online

      Waktu sekarang Sun May 19, 2024 3:51 pm