Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    ide,proses kreatif dan berak

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    ide,proses kreatif dan berak Empty ide,proses kreatif dan berak

    Post by sumanto Sun Aug 08, 2010 8:10 pm

    Ide, Proses Kreatif dan “Berak”


    (Dody Wisnu Pribadi, alumnus jurusan Tanah Fakultas
    Pertanian Universitas Jember)


    disajikan untuk acara pelatihan jurnalistik di
    Universitas Brawijaya, malang Kamis, 30 November 1995





    Ide dalam Pers


    Marilah kita mulai pembahasan
    dengan sebuah statement tunggal: Pers adalah pasar ide. Pers, dalam pengertian
    luas, adalah wahana komunikasi. Ia malah bisa disebut sebagai sisitem nilai.
    Yang menjadikan pers berkekuatan karena sifat komunikasinya yang khas, yakni
    umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum ke
    khalayak umum, membicarkan kepentingan umum. Itulah sebabnya umum kemudian
    berkepentingan dengan pers.


    Pers menjadi public service, bukan
    hanya menjadi interes personal, tapi lalu menjadi interes publik. Mereka yang
    berkepentingan dengan publik, apakah itu lembaga-lembaga negara, ataukah
    lembaga-lembaga modal, berkepentingan dengan pers. Begitu juga publik itu
    sendiri. Yah...., pers lalu bermetamorfosa sebagai sebebntuk kekuatan .
    powerfull information. Manifestasinya sepele, selembar koran, seeksemplar
    majalah, atau sekedar tayangan suara dan gambar, tapi yang lebih penting
    pengaruhnya.


    Dalam konteks inilah ide dalam pers
    memberi nyawa, menjadikan pers hidup, menjadi hantu atau bahkan pahlawan bagi
    sesuatu pihak. Karena pers sebagai sistem kemudian mengenal ide sebagai
    komoditas-tidak hanya dalam artian modal, namun terlebih penting dalam artian
    public interes (kepentingan publik) itu tadi- ide menjadi penting dalam
    perbincangan kita tentang makna dasar kerja jurnalistik. Ide itulah intisari
    kerja jurnalistik. Mengemas ide, menawarkan ide, menjualnya dan mendapat
    keuntungan dari jualan ide.


    Bagaimana ide mula-mula diperoleh
    menjadi pertanyaan besar dalam proses kreatif kerja jurnalistik. Memang, hakekatnya
    seputar itulah pekerjaan menulis dalam kerja jurnalistik. Dalam wacana
    kepenulisan yang lain, proses menemukan dan menggarap ide, sangat barangkali
    bisa sama, tapi saya ingin menegaskan perbedaannya. Yakni perbedaa mengolah ide
    dalam kerja jurnalistik, dengan mengolah ide dalam kerja lain, misalnya ketika
    menulis puisi, atau menulis cerpen, meskipun perbedaan itu bukan harga mati.


    Ide dalam kerja jurnalistik
    mestilah bermula dari konteks kemasyarakatan, karena memang di situlah awal dan
    akhir perjalanan ide dalam pers. Proses ini amat mirip dengan epistemologi
    pemecahan masalah dalam kerja ilmiah. Bahwa dalam masyarakat muncul
    masalah-masalah yang harus dipecahkan. Masalah, niscaya ada dalam kumpulan
    masyarakat. Lebih-lebih dalam sistem masyarakat yang disebut negara.
    Kompleks-kompleks friksi dan kemajemukan dalam lembaga negara atau kelompok
    masyarakt niscaya akan menimbulkan masalah.


    Misalnya terhadap premis elementer
    dalam ilmu hukum yang menyebutkan, bahwa batas-batas kekuasaan hukum individu
    adalah individu lain. Orang boleh dan melakukan apa saja sampai pada batasnya
    ia terbatasi oleh hak orang lain. Dengan cara itulah misalnya masalah-masalah
    timbul, yakni masalah pengaturan hak-hak individu. Friksi dalam kumpulan
    masyarakat itu pasti senantiasa ada. Dan dari masalah itulah ide dimunculkan.


    Jadi, sampai tahap ini tampak bahwa
    kerja jurnalistik bukan (jangan) tidak berasal dari kepentingan kemasyarakatan.
    Itulah, dalam batasan sempit, yang membedakan penulis berita jurnalistik dengan
    penulis roman atau fiksi. Karena penulis roman hanya menggarap ide personalnya.
    Misalnya ingatan kampung halaman, pada kerinduan kepada ibu. Sekali lagi, dalam
    batasan sempit


    Tapi kebanyakan nurani manusia di
    zaman ini sudah tumpul. Mungkin karena terbawa kelana zaman konsumerisme.
    Mungkin karena asyik masyuk dengan kemapanan, status sosial, fasilitas, materi
    dan deposito. Mungkin juga hanya karena ketakutan-ketakutan situasional.
    Misalnya, takut disiksa tentara, takut dimutasikan, takut di PHK, takut tak
    diluluskan dosennya. Nurani manusia tumpul, tidak rajin membaca zaman, tidak
    peka melihat masalah dalam masyarakat, maka ide tidak tampak. Padahal, ide dan
    masalah itu kasat mata meskipun tidak dalam artian harafiah. Masalah dalam
    masyarakat terserak dimana-mana.


    Marilah kita uraikan. Hanya barang
    tiga puluh kilometer dari pusat kota Surabya, di kota-kota kecil Madura,
    kemiskinan merajalela. Mereka miskin bukan hanya karena nasib buruk mereka,
    tapi karena sengaja dibuat miskin. Uang dibiarkan berputar di pusat kota. Uang
    tidak dibawa ke desa. Akses mereka terhadap modal usaha, dihilangkan atau bahasa
    halusnya dikecilkan. Modal usaha, kunci keberhasilan menuju kesejahteraan hanya
    dinikmati pengusaha kota. Sistem ekonomi dibangun dengan mendahulukan
    kepentingan pemilik modal di kota-kota besa, bagi sektor-sektor yang hanya bisa
    disentuh oleh sekelompok kecil penikmat modal, bukan kelompok besarnya.


    Ketika bocah-bocah ABG di Plaza
    Tunjungan duduk di sudut Bon Cafe, mengenakan kaos ketat Hammer bergambar palu,
    memesan satu cup fresh juisce yang diminta menggunakan non-diabetic sweetener,
    menyantap seporsi tepanyaki ditambah kudapan kentang goreng lantas berlalu
    dengan sepetu radialnya dan membayar di kasi dengan kartu kredit Master
    Card-nya untuk transaksi sekali santap sebesar Rp. 50.000,- Bocah ABG tadi
    mampir ke counter music shop menghamburkan beberapa ratus ribu membeli CD
    terbarunya Janette Jackson seraya bertanya “Apakah tidak ada discount, kan bisa
    lebih hemat kalau pas sale” Bocah ABG tadi lalu melenggang sambil menggumamkan
    lagu “Scatman World” ia melangkah ke tempat parkir seraya memencet tombol
    remote key mobilnya dan mobil JLX-nya berteriak menguik sebeblum kunci
    otomatisnya membuka: Di bilah dunia tak jauh dari situ seorang ibu muda namun
    berparas tua di tengah kegelapan acara pengajian di Madu di atas hamparan sawah
    bera yang lama tak tertanami sepanjang musim kemarau, ia duduk menuai
    beberapa genggam kacang tanah yang digelar di atas tampah kusam. Tampahnya
    dihiasi lampu minyak berkelip kecil. Agar menarik perhatian ia sengaja duduk di
    bawah tiang corong speaker. Di sekelilingnya, bocah-bocah kecil bermain lesu
    menunggu acara pengajian dimulai, sementara corong menguakkan lagu-lagu dari
    Timur Tengah. Mata anak-anak itu masih belok lucu, tapi gerakannya lamban,
    rambutnya kusam kemerahan dan kulitnya busik. Di samping keranjang kosongnya
    tergeletak anak bayinya, diam dan muram, pasti sedang menahan lapar. Atau malah
    tidak merasa lapar karena seumur hidupnya ia belum pernah tahu rasanya kenyang.
    Seluruh sistem metebolisme sosial di terakhir ini barangkali hanya berjalan
    sepersepuluh atau seperseratus kali dibanding Bocah ABG tadi. Kontras-kontras
    itulah contoh masalah dan idenya.





    Mencairkan Ide


    Ide sekedar menjadi individual
    (misalnya ingatan pada kekasih) jika tidak diiringi dengan usaha
    “mengkontekskan ide”. Maksudnya, lantaran motif public interest dalam kerja
    jurnalistik dan pers tadi, ide yang terkemukakan harus dikontekskan dengan situasi-situasi
    kontemporer. Mungkin bisa juga proses ini disebut dengan aktualisasi ide, atau
    apalah namanya.


    Yah...., gambaran pelukisan seorang
    Mbok Misnatun di sudut pasar Jagalan dengan dagangan kain batiknya, akan
    terkontekskan jika dikaitkan dengan persoalan besar sektor usaha kecil. Mungkin
    gambaran Mbok Misnatun hanya ilustrasi dramatis dari sebuah mayor thingking, sebuah pikiran besar
    yang hendak dikemukakan tentang pentingnya keadilan mendistribusikan modal,
    khususnya bagi wirausahawan bermodal kecil. Mengkontekskan ide, barangkali
    merupakan proses kerja paling cerdas dalam seluruh tahapan proses kreatif
    jurnalistik. Tapi dengan cara itulah ide itu mencair, menjadi untaian kerangka
    penulisan yang menjelaskan rinci tahap demi tahap perkembangan ide itu tadi
    dalam tulisan. Tapi upaya mengkontekskan ide hendaknya jangan dibatasi oleh sektor-sektor,
    apalagi oleh pengkotakan-pengkotakan masalah. Konteks ide harus benar-benar
    bebas, liar, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya. Konteks
    besar ide dalam kerja jurnalistikk, akhirnya juga menyinggung pada wacana
    aktual pada waktu itu.


    Mungkin Mbok Misnatun sekedar
    ilustrasi dalam sebuah tulisan besar tentang konglomerasi, ketidakmerataan
    distribusi modal (sektor ekonomi). Tapi kisah Mbok Misnatun juga bisa
    dikontekskan dengan keadilan hukum, proses politik, diskriminasi sosial, kemiskinan
    dan sejuta ide besar lainnya.


    Marilah kita lebih memfokuskan
    kacamata dalam perbincangan ini. Bagaimana mengkontekskan ide? Bahwa proses
    kontekstualisasi itu hendaknya ditarik oelh isu-isu aktual pada hari itu, atau
    pada masa itu. Biasanya penggiringan ide ini sangat diwarnai oleh interes
    pribadi penulisnya. Itu sah-sah saja, boleh-boleh saja, tapi yang lebih penting
    penggringan ini hendaknya dilembagakan oleh sistem persnya, atau setidaknya
    oleh lembaga persnya. (Sayang apa boleh buat jika secara jujur harus dikatakan,
    upaya terakhir itu dalam banyak hal jarang terjadi. Jarang terjadi mungkin
    karena rai gedeg-nya pengelola lembaga pers itu, tapi lebih sering terjadi
    karena tekanan-tekanan eksternal dan sistem birokrasi yang sedang bekerja dalam
    lembaga besar negaranya memang tidak memungkinkan).


    Jika ide dalam sistem pers adalah
    muatan bagi sebuah kendaraan. Maka tujuan kendaraan itulah proses penggiringan
    atau kontekstualisasi idenya. Mulailah kita temukan bahwa proses pemberian
    nyawa bagi sebuah tulisan dalam kerja kreatif jurnalistik ini lantas terasakan.
    Pada sat inilah tulisan dan kerja jurnalistik itu lantas amat menarik, hidup
    dan menjadi sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus
    aktual, antara kasus mikro dengan pikiran besarnya, sehingga menjadi sangat
    kontekstual dengan kebutuhan zaman bagi pembacanya.


    Pada saat inilah keluasan dan
    kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang juga teruji pastilah juga
    keluasan pengetahuan penulisnya. Tapi yah...., tentu semua tahu bahwa keluasan
    pengetahuan merupakan pra-syarat mutlak dalam kerja kepenulisan. Tidak mungkin
    seorang jurnalis bekerja berdagang ide, kulakan ide, memberi nilai tambah bagi
    ide itu, dan menggelar idenya di warung ide, tanpa lebih dulu mengetahui pasar
    bursa ide. Mungkin tidak banyak penulis jurnalistik (wartawan) yang secara
    sadar melakukan ini.


    Marilah kita masuk menggali lebih
    dalam. Dalam kerja kepenulisan, ada sebuah motif terdalam yang disebut nurani
    penulisan. Ini penamaan saya sendiri, karena saya tidak tahu apakah kajian
    literer mempersoalkannya (barangkali tidak). Nurani penulisan, dalam banyak
    kasus bisa disebut seperti kependetaan, kewaskitaan kerja penulisan. Semacam
    malaikat suci yang menjaga tindakan moral penggiringan (kontekstualisasi) ide.
    Penggiringan ide, sangat berkait dengan motif-motif moral. Dia bukan semata-mata
    kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah, namun lebih
    dari itu dia juga dalam bahasa agama seperti semacam dakwah, syiar moral.


    Sayang sekali banyak wartawan lalai
    melakukan ini. Tapi jika citarasa ini kita cicipi, betapa moralisasi kerja
    penggiringan ide itu menjadi begitu mulia, begitu bermakna begitu suci,
    sehingga pekerjaan kewartawanan, atau kerja besar di dunia pers ini bukan
    semata-mata mencari sesuap nasi atau menambah besar tumpukan deposito (semenjak
    pers menjadi ajang kapitalisasi modal bahkan kekuasaan gaji wartawan sekarang
    terlalu besar untuk disebut mencari sesuap nai. Lha... wong kebiasaan
    entertaimentnya ke disko, pijet atau nyetel film BF). Barangkali lebih cocok
    jika tahap ini disebut moralisasi ide, atau saya biasa menyebut moral kerja
    wartawan.


    Menurut pendapat saya, dengan cara
    inilah kira-kira, seorang penulis yang biasa melakukan Mo Limo dalam hidupnya
    tetap mampu mengkhotbahkan kemuliaan dalam tulisan-tulisannya. Seorang wartawan
    yang menerima suap siang hari, petang harinya di depan komputer ia tetap
    mengetikkan karya jurnalistik padat moral. Tapi baiklah di sini adalah moral
    kerja kepenulisannya.


    Sampai di sini pertanyaan yang
    paling yang bisa diajukan adalah moral mana yang hendak dianut. Bahasan tentang
    ini sangat tergantung, tapi kalau saat ini bisa dikemukakan menurut pendapat
    saya adalah moral-moral universal, mungkin juga moral agama (karena anggapan
    masing-masing pribadi terhadap agama sangat bermacam-macam, agama untuk
    sementara kita sebut sebagai sebentuk universialisme juga). Nilai-nilai
    universal yang dimaksud adalah ide-ide moral semacam humanisme, hak asasi
    manusia, demokratisasi, keadilan, pemerataan, pemihakan kepada kaum yang lemah,
    kerakyatan, memperjuangkan kebenaran, pembelaan kepada rakyat kecil...
    pendeknya pemuliaan kepada moral-moral duniawi itu.





    Menuliskan Ide


    Dua bahasan di muka berkuasa dalam
    motif kerja kepenulisan selama proses kreatif berlangsung. Ia berkuasa dari
    awal pencarian ide, hingga tetes akhir penulisan berlangsung. Lalu
    pertanyaannya..... bagaimana benar-benar menuliskan idenya? Saya berpendapat
    proses ini sebenarnya individual sekali. Sangat tergantung situasi personal
    yang bersangkutan. Tapi, yah....., memang ada kerangka kerja, atau semacam
    upaya-upaya sistematis yang dapat dilakukan.


    Upaya-upaya sistematis itu sangat
    umum dan belum tentu mampu memberikan semacam resep kepenulisan, tapi
    setidaknya bisa dimanfaatkan sebagai kegiatan membagi pengalaman saja. Seorang
    penulis yang gelsiah biasanya melakukan pencarian diri, ia juga mengksplorasi
    pengalan orang lain, lalu mencoba dan mengevaluasi sejauh mana pencarian relung
    idenya termanifestasikan di tulisannya atau sejauh mana pencarian ide untuk
    topik yang sama yang dilakukan orang lain dalam tulisannya menyamai
    pencariannya.


    Cara paling umum adalah meng-kerangkakannya.
    Kristalisasi ide dalam pikiran dicirikan oleh kehadiran kaitan-kaitan masalah
    dalam pikiran. Jika pikiran dasarnya sudah muncul dalam pikiran, kita bisa
    mulai mengkerangkakannya sesuai tujuan format penulisannya. Format berita
    (news) barangkali sangat biasa, karena di sana tidak ada pemanipulasian. Yang
    lebih berat biasanya ketika mengerjakan (news) feature. Lantaran tuntutan
    terhadap bobot dan upaya membuat tulisan juga menarik, membuat pengkerangkaan
    ide dalam feature memerlukan ketrampilan pemanipulasian (bukan penipuan, tapi
    semacam trik atau montase, pengolahan gagasan).


    Kita bisa membagi pokok pikiran
    dalam item-item. Item boleh diberi judul, boleh juga tidak misalnya dengan
    memisahkannya dengan tanda-tanda (misalnya bintang tiga dicentered paragraph).
    Setelah kerangka terbentuk, lalu dibuatlah kerja pemanipulasian . tulisan yang
    baik akan menarik dengan membuatkannya mengandung unsur thriller, suspense,
    kejutan-kejutan. Fakta-fakta tidak langsung digeber dalam satu item, tapi
    ditunda pemunculan penyelesaian uraiannya. Banyak cara bisa dipilih, misalnya
    dengan teknik fokus jauh dan fokus pendek. Mikro lalu makro, lalu mikro lagi,
    dimakrokan lalu ending pointnya mikro lagi.


    Misalnya, item pertama, mikro.
    Bertutur tentang dunia mikro (seperti fokus pendek dalam film) Mbok Misnatun di
    pasar Jagalan, berikut kisah dramatis yang dialaminya (misalnya baru saja
    kecopetan uang yang seharusnya untuk membayar uang sekolah anaknya). Item
    berikutnya dimakrokan (seperti fokus panjang, kamera menjauhi obyek sehingga
    tampak pemandangan tempat tempat obyek berada), misalnya menuturkan rendahnya
    keamanan pasar Jagalan dan lebih jauh lagi keamanan pasar-pasar di kota itu,
    lalu diilustrasikan dengan fakta-fakta statistik kejahatan, kasus kemarin.
    Komentar pihak keamanan pasar, kepala pasar.


    Item berikutnya boleh dimikrokan
    kembali (fokus pendek) dengan melihat kontras-kontras tidak hanya keamanan
    namun juga kenyamanan yang dinikmati pengunjung Plaza hanya beda selantai di
    lanatai atas pasar Jagalan. Dilukiskan kenyamanannya, kontras-kontrasnya,
    keamanannya, sistem sekuritinya, satpamnya,otomatisasi keamanan yang semuanya
    berharga mahal. Lalu dimakrokan kembali untuk membicarakn ketimpangan sistem
    keadilan dan hak memperoleh keamanan.


    Disini boleh ada khotbah-khotbah,
    gugatan-gugatan, renungan-renungan, pembandingan-pembandingan ketika mana
    moralisasi ide seperti diurai sebelumnya dipaparkan. Lalu ending point-nya
    dimikrokan kembali, misalnya fokus ketiak Mbok Misnatun tetap saja gagal
    membayar uang sekolah anaknya. Seperti nonton film, akhir filem kamera menjauh
    menyisakan renungan-renungan pesan pada penontonnya.


    Orang memiliki pengalaman personal
    yang berbeda-beda dalam proses pencarian ide, kontekstualisasi ide, moralisasi
    hingga proses penulisan ide itu. Kadang-kadang ide itu sudah tuntas sebelum
    penulis menghadapi komputer untuk mulai menulis, tidak jarang keseluruhan
    penggrapan ide baru selesai pada detik-detik terakhir penyelsaian naskah. Untuk
    menyelesaikannya tidak jarang orang perlu ngopi dulu, menggeliat dulu, sambil
    mondar-mandir di depan meja tulis, memilih waktu menjelang subuh, harus mandi
    dan berbaju bersih dulu, atau harus seketika dituliskan sepulang dari lapangan,
    harus ditemani radio yang disetel sayup-sayup, harus sambil mendengarkan musk
    lewat earphone, atau harus duduk disamping foto pacar, istri atau anaknya.


    Tidak jarang kebiasaan itu juga
    aneh, misalnya di film Firm, tokoh yang diperankan Tom Cruise selalu mendapat
    ide ketika menggenggam pemukul bola kasti, bisa juga ide mengalir lancar jika
    di lacinya ada apel busuk (Agatha Christhie menulis karakter tokoh dalam cerita
    detektifnya demikian). Saya misalnya, mendapat ide seringkali ketika sedang
    membaca koran sambil berak di kamar mandi.





    Cerita

    Item

    Tahapan Proses Kreatif

    Dramatisasi Suspence Teknik Bertutur






    Kristalisasi
    Ide

    Aktualisasi
    ide

    Moralisasi
    ide



    Mbok misnatun dan drama pencopetan yang menimpa
    dirinya

    Pertama

    X





    Ceritakan kasusnya secara dramatis, tapi jangan
    seluruh fakta

    Mbok Misnatun cuma contoh dari rawannya keamanan
    pasar Jagalan. Ada kondisi makro yang membedakannya dengan situasi keamanan
    plaza selantai di atasnya

    kedua



    X



    Sudut makro, mulai masukkan persoalan besar yang
    menjadi setting dari kondisi mikro yang diceritakan

    Gambaran keamanan dan kenyamanan di apsar mewah
    plaza selantai di atasnya. Gambaran kontras-kontras fasilitas yang boleh
    dinikmati pengunjung plaza sementara warga negara seperti Mbok Misnatun tidak
    menikmati

    Ketiga

    X



    X

    Sama seperti item pertama

    Dua model kontras yang mencerminkan perbedaan
    perlakuan hukum yang diterima warga negara. Mungkin memang, warga negara yang
    lebih kaya dan membayar lebih mahal berhak menikmati fasilitas lebih baik,
    tapi bukankah akses terhadap keamanan merupakan hak dasar yang harus dimiliki
    oleh setiap orang

    keempat



    X

    X

    Beberkan persoalannya, gugatan-gugatan,
    renungan-renungan, pembandingan, referensi, bagaimana kisah di negeri lain,
    bagaimana pandangan keilmuan

    Pesan moral tentang kesamaan hak di depan hukum

    Kelima
    (Ending)



    X

    X

    mungkin dengan ending yang menggugah menimbulkan
    tanda tanya, perenungan moralis

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 2:18 pm